Perubahan atau reformasi perpajakan di Indonesia telah berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap awal dimulai pada tahun 1983. Saat itu, reformasi yang dilakukan berupa reformasi undang-undang perpajakan yang mengatur ketentuan mengenai peralihan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment.
Kemudian, perjalanan reformasi dilanjutkan dengan reformasi undang-undang perpajakan pada tahun 1991-2000, Reformasi Perpajakan Jilid I pada tahun 2002-2008 tentang modernisasi administrasi perpajakan, Reformasi Perpajakan Jilid II pada tahun 2009-2016 tentang peningkatan pengendalian internal, hingga saat ini yang sedang berlangsung yaitu Reformasi Perpajakan Jilid III dari tahun 2017 hingga sekarang dengan tema konsolidasi, akselerasi, dan kontinuitas reformasi perpajakan.
Reformasi perpajakan masih berlanjut dengan dilakukannya Reformasi Perpajakan Jilid III yang berfokus pada pembenahan lima pilar yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan. Reformasi perpajakan tak bisa terlepas dari sistem administrasi perpajakan yang digunakan oleh wajib pajak dan fiskus.
Pengembangan sistem administrasi perpajakan secara digital diawali dengan penerapan e-filing untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak, e-Faktur untuk administrasi faktur pajak dan pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta e-billing sebagai kanal pembayaran pajak.
Sistem administrasi yang baik, cepat, dan mudah akan bermuara pada peningkatan kepatuhan pajak, khususnya kepatuhan pajak sukarela (voluntary tax compliance). Pasalnya, biaya kepatuhan (compliance cost) dapat ditekan serendah mungkin.
Namun, sistem administrasi digital yang berjalan saat ini masih dapat dikembangkan jauh lebih baik lagi, terutama dalam hal integrasi dan kualitas data. Kewajiban perpajakan masih dijalankan melalui berbagai kanal yang terpisah, seperti e-filing, e-faktur, dan e-registration.
Untuk menjalankan reformasi perpajakan dalam hal layanan administrasi perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan suatu sistem aplikasi canggih dan terintegrasi yang dinamakan dengan Coretax atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Dengan adanya sistem ini, diharapkan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan dapat dijalankan dengan lebih baik dan mudah baik bagi wajib pajak dan juga petugas pajak.
Coretax diimplementasi pada awal tahun 2025, Lalu, apa yang perlu disiapkan wajib pajak pada implementasi Coretax?
Pemutakhiran Data
Salah satu langkah utama yang perlu dilakukan oleh wajib pajak adalah melakukan pemutakhiran data pajak secara lengkap dan akurat. Dalam rangka mendukung implementasi Coretax, DJP akan memastikan bahwa data wajib pajak yang ada di sistemnya selalu terbarui. Oleh karena itu, wajib pajak perlu memastikan bahwa informasi yang tercatat dalam sistem pajak sudah sesuai dengan kondisi aktual. Hal ini meliputi pembaruan data identitas wajib pajak, alamat, jenis usaha, nomor telepon, alamat surat elektronik, serta informasi perpajakan lainnya yang relevan.
Pemutakhiran data pajak sangat penting karena Coretax akan berfungsi dengan lebih efektif jika data yang digunakan akurat dan valid. Untuk itu, wajib pajak dapat melakukan pembaruan data melalui layanan yang disediakan oleh DJP di DJP Online atau melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Mengingat bahwa data yang tidak akurat atau tidak lengkap dapat memengaruhi kewajiban perpajakan dan potensi penyelesaian sengketa, pemutakhiran data adalah langkah awal yang krusial.
Ketentuan Terbaru
Untuk memastikan wajib pajak tidak kesulitan dalam mengikuti aturan baru yang berlaku seiring dengan hadirnya Coretax, pemahaman mengenai ketentuan terbaru sangat penting. Salah satu peraturan yang perlu dipahami adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 81/2024). PMK ini berisi pedoman mengenai mekanisme pelaporan pajak, tata cara pembayaran, serta sanksi-sanksi yang berlaku jika wajib pajak tidak mematuhi ketentuan.
Sebagai bagian dari sistem administrasi perpajakan yang baru, Coretax akan mengubah cara pengelolaan laporan dan pembayaran pajak secara signifikan. Oleh karena itu, wajib pajak perlu memahami dengan seksama aturan yang ada dalam PMK 81/2024 agar tidak mengalami kebingungan atau kesalahan dalam pelaporan pajak mereka. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam PMK ini antara lain adalah penandatanganan secara elektronik dengan sertifikat digital, format pelaporan yang baru, proses verifikasi otomatis yang diterapkan oleh sistem, serta batas waktu pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Masa dari paling lambat tanggal 10 menjadi tanggal 15 bulan berikutnya.
Selain itu, PMK ini juga memberikan penjelasan tentang aturan-aturan baru terkait pemanfaatan teknologi dalam pelaporan pajak. Wajib pajak harus mengikuti perkembangan ini agar dapat memanfaatkan sistem Coretax dengan sebaik-baiknya, serta menghindari potensi denda atau masalah perpajakan lainnya.
Pelaksanaan Coretax pada tahun 2025, wajib pajak perlu melakukan beberapa langkah persiapan yang penting agar proses transisi ke sistem baru ini berjalan lancar. Pemutakhiran data wajib pajak, penggunaan simulator Coretax, dan pemahaman terhadap PMK 81/2024 adalah tiga langkah utama yang perlu diperhatikan. Dengan persiapan yang matang, wajib pajak akan dapat memanfaatkan teknologi baru ini untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan lebih mudah, cepat, dan efisien. Wajib pajak yang siap dengan perubahan ini akan lebih unggul dalam menghadapi era perpajakan digital yang semakin maju.
Coretax dapat di akses pada laman https://coretaxdjp.pajak.go.id/
Sumber : Ardian Mahardi Putera, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak